SEJARAH KEBUDAYAAN BETAWI
October 30, 2012
SEJARAH
KEBUDAYAAN BETAWI
Suku
Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang
disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru
di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti
orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayudan Tionghoa.
Suku
Betawi
Pada
tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai
kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak
778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu
itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya,
Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen,
atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem
Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka
merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga
yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran
dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan
bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Selain
itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di
Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini
lahir musik keroncong.
Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan
untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa
Melayu Kreol yang
digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata
Betawi berasal dari kata “Batavia,” yaitu nama lama Jakarta yang diberikan
oleh Belanda.
Sejarah
Diawali
oleh orang Sunda (mayoritas),
sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian
Pakuan Pajajaran.
Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir
utara Jawa,
dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan,
etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815–1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang
dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus
penduduk Jakartatahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi
tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian
utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang
dimulai pada tahun 1690.
Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di
daerahKota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa,
orang Ambon danBanda, dan orang
Melayu.
Suku
Betawi
Pada
tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai
kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953
jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu
itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya,
Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga
belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri
berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen,
atau orang Rawabelong.
Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh
masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem
Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan
sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga
yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran
dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan
bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Selain
itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di
Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini
lahir musik keroncong.
Setelah
kemerdekaan
Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri
imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun
juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi
mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke
pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari
Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia
hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’
Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni dan
kebudayaan
Budaya
Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis.
Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan
ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar
Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda,Minang, Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budayaJakarta juga banyak menyerap dari
budaya luar, seperti budaya Arab,Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah
yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi
pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dariIndonesia maupun budaya barat.
Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar
budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah
cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan
berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di
Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga
yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga
dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20,
Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai
etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan
menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian,
masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan
dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran,
Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah
menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai
dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik[1] yang
saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun
bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa
Indonesia dialek Betawi.
Musik
Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga adaRebana yang
berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan
latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang
Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Tari
Seni tari
di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat
yang ada di dalamnya. contohnya tari japong, Cokek dan lain-lain.Pada
awalnya, seni tari di Jakartamemiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti
tari Jaipong dengan kostum penari khas pemainOpera
Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain
seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang
dinamis.
Cerita
rakyat
Cerita
rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung,
juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan
Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam
perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal “keras”. Selain mengisahkan jawara
atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang
menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang
lainnya.
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang
menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga
ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen,
ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk
lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,
Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda
Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.
Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung
Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang
Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut
lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan
dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja
jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan
pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga
banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh
warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan
silat banyak di jumpai disana semisal Ji’ih teman seperjuangan Pitung dari
Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak
zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga
Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu
Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya
untuk “terpaksa” memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang
kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah
multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis,
dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang
bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku
dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin
Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta
saat ini .
Ada beberapa
hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung
tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin
dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan
hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari
luar Jakarta.
Orang
Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku
kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan
dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri
(baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi
generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebu
Sebagai
suku asli di Jakarta, Betawi sangat kaya akan seni dan budaya. Namun, tidak
semua kesenian Betawi dikenal masyarakat secara luas, termasuk seni topeng
blantek. Padahal, jauh sebelum kesenian tradisional Betawi seperti gambang
kromong, lenong dan lain sebagainya dikenal masyarakat, topeng blantek sudah
lebih dulu hadir di tengah-tengah masyarakat Betawi.
Soal
asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua suku kata, yaitu topeng dan
blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng
asal kata dari to dan peng. To artinya
sandi dan peng artinya wara. Jadi topeng itu bila dijabarkan
berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang
mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu
rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang
blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan
maka munculah istilah blantek.
Pendapat
lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs,
yang berarti buta naskah. Marhasan (55), tokoh pelestari topeng blantek
mengatakan, permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara
hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.
Ciri dari
kesenian topeng blantek yaitu terdapat tiga buah sundung (kayu yang dirangkai
berbentuk segi tiga yang biasa digunakan untuk memikul sayuran, rumput dan lain
sebagainya). Yaitu satu sundung berukuran besar dan dua berukuran kecil yang
diletakkan di pentas sebagai pembatas para pemain yang sedang berlakon dengan
panjak dan musik juga dengan para pemain lain yang belum dapat giliran
berlakon. Kemudian perangkat lainnya berupa obor yang diletakkan di tengah
pentas.
Namun, di
tengah modernisasi zaman kesenian yang dulu dikenal di kalangan rakyat jelata
tersebut saat ini kondisinya hampir punah. Bahkan, keberadaan seniman dan
sanggar tari topeng blantek boleh dikatakan hidup segan mati tak mau.
“Sebenarnya
kalau masyarakat ingin tahu sejarah kesenian topeng blantek, boleh dikatakan
cikal bakal kesenian tradisional Betawi saat ini seperti gambang kromong,
samrah, lenong dan lain sebagaianya berawal dari topeng blantek. Tapi, minimnya
dukungan pemerintah dan sepinya job membuat kesenian topeng blantek nyaris tak
populer,” ungkap Marhasan yang juga pimpinan Topeng Blantek Pangker Group,
Kamis (16/6).
Ia
mengakui, sejak adanya kesenian-kesenian tradisional Betawi lainnya seperti
lenong, topeng Betawi, samrah, gambang kromong dan lain sebagainya, kesenian
topeng blantek makin surut pamornya dan akhirnya hilang sama sekali.
Saking
lamanya kehadiran topeng blantek Marhasan tidak tahu kapan kesenian rakyat itu
ada. Marhasan yang sejak 1972 malang melintang di Teater Maki-Maki pimpinan Patrick
Usman, Sanggar si Barkah dan lainnya hingga 1982 bersama almarhum Usman juga
turut mendirikan sanggar Topeng Blantek Pangker Group karena kecintaannya pada
kesenian asli Betawi tersebut.
Menurutnya,
kesenian topeng blantek sempat bangkit pada 1972 saat seorang tokoh kesenian
bernama Ras Barkah dengan sanggarnya yang dinamakan si Barkah melakukan
pengembangan kesenian topeng blantek ke bentuk yang lebih sempurna, namun tidak
meninggalkan keasliannya.
Diakui
Marhasan saat era Ras Barkah kesenian topeng blantek sempat tumbuh subur hingga
ada 25 sanggar dengan rincian, Jakarta Barat 10, Jakarta Utara 3, Jakarta Timur
5, Jakarta Pusat 3, dan Jakarta Selatan 4 sanggar.
Sebelum
nama topeng blantek nyaris tak terdengar seperti saat ini, kesenian ini sempat
mencapai klimaksnya dengan digelarnya festival pada 26-31 Mei 1994 selama lima
hari berturut-turut atas kerja sama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan Lembaga
Kebudayaan Betawi (LKB) dan yayasan Seni Budaya Jakarta. Saat itu, festival
diikuti 13 sanggar.
Namun
sepeninggal Ras Barkah pada 2007, upaya melestarikan topeng blantek mulai
terkendala modal dan sulitnya mencari generasi penerus dan diperparah dengan
tak adanya perhatian dari pemerintah untuk turut melestarikan kesenian topeng
blantek. Akibatnya, satu-persatu sanggar-sanggar tersebut berguguran. Hingga
saat ini untuk wilayah Jakarta Barat saja hanya tersisa empat sanggar.
“Dari
empat sanggar tersebut dua sanggar boleh dibilang hidup segan mati tak mau.
Sebab anggotanya sudah tak tahu ke mana rimbanya,” tutur Marhasan.
Nasib yang
tidak jauh berbeda juga saat ini dialami sanggar yang dipimpinnya yang
bermarkas di Jalan Pangkalan Kramat, RT 01/10, Kelurahan Semanan, Kecamatan
Kalideres, Jakarta Barat, yang beranggotakan 30 orang.
Tak adanya
modal membuat sanggarnya kesulitan membeli perangkat alat musik baru untuk
menggantikan alat yang lama hasil pemberian Sudin Kebudayaan Jakarta Barat.
Ditambah kurangnya minat generasi muda, khususnya keturunan Betawi untuk
melestarikan budayanya praktis membuat sanggarnya sepi job.
“Bayangkan
karena tak adanya uang dan fasilitas, untuk latihan saja kami terpaksa latihan
di teras rumah salah satu anggota atau meminjam halaman sekolah,” tandasnya.
Sejarah
perjalanan kuliner khas betawi
Orang
Betawi mempunyai beragam aneka masakan lezat. Sayangnya, beberapa di antaranya
kini mulai punah. Siapa yang tak suka dengan Soto betawi yang gurih dan manis
lezat itu? Siapa pula yang tidak tergoda dengan jajanan khas Betawi tahunan di
daerah-daerah cagar budaya Betawi bernama Kerak Telor? Selain dua sajian
populer ini, Betawi masih memiliki banyak makanan lezat lainnya. Hanya saja,
saat ini semua hidangan khas Betawi bisa kita dapatkan dengan mudah. Beberapa
di antaranya bahkan telah punah. Kita perlu prihatin akan begitu banyaknya unsur-unsur
kuliner Indonesia yang telah sirna. Kalau bukan kita yang memang suka dan doyan
makan serta peduli pada warisan budaya kuliner, lalu siapa lagi yang mau dan
mampu melestarikannya?
Menetap di
Jakarta, bekerja di Jakarta, ataupun sekadar mampir ke Jakarta, akan terasa
keterlaluan bila tak mencicipi menu khas Betawi. Ada Nasi Uduk, Lontong
Sayur, ataupun Ketoprak bertebaran di Ibu Kota ini. Jakarta, sejak jaman
dulu, memang telah menjadi melting pot, tempat bercampuraduknya berbagai anasir
budaya, bahkan bisa di bilang salad bowl aneka budaya dari Belanda, Portugis,
Tionghoa, Arab, India, Jawa, Melayu, Betawi Asli — yang semuanya dicampur
menjadi satu adonan dan tampilnya unik khas Betawi, sama persis dengan tampilan
beragam makanannya.
Semakin
berkembangnya kota Jakarta dari tahun ke tahun membuat masyarakat Betawi asli
yang dulunya memiliki tanah-tanah yang luas di tengah-tengah kota makin
tersisih. Tanah-tanah yang dahulunya merupakan lahan-lahan perkebunan
buah-buahan dan pertanian kini berubah menjadi komplek gedung-gedung pencakar
langit, ditambah lajunya urbanisasi memaksa mereka pindah ke daerah tepian kota
Jakarta. Meskipun terdesak, hasrat melestarikan budaya nenek moyangnya tidaklah
luntur. Daerah-daerah ayng masih banyak bermukimnya warga Betawi asli yaitu,
Tangerang, Bekasi, Kelompok Kecil di tengah kota seperti di Kebon Jeruk, Kebon
Kacang, Ciputat, Tenabang, Kebayoran Lama dan Kampung Melayu. Sisanya tersebar
di lima wilayah Jakarta.
BETAWI
SELAYANG PANDANG
Betawi adalah cikal bakal munculnya kota metropolitan Jakarta. Betawi juga menjadi sebutan bagi penduduk asli Kota Jakarta dengan budaya dan sejarahnya yang dinamis. Sejarah Betawi tak lepas dari pengaruh budaya China dan Belanda yang pernah mendominasi kota Batavia beberapa abad lalu.
Betawi adalah cikal bakal munculnya kota metropolitan Jakarta. Betawi juga menjadi sebutan bagi penduduk asli Kota Jakarta dengan budaya dan sejarahnya yang dinamis. Sejarah Betawi tak lepas dari pengaruh budaya China dan Belanda yang pernah mendominasi kota Batavia beberapa abad lalu.
Di tahun
1740 orang-orang China merantau di kota Batavia memberontak kepada pemerintahan
Belanda. Namun para pemberontak ditumpas oleh Kompeni dan tidak lagi
diperbolehkan tinggal di dalam tembok kota. Percampuran dan pembauran etnis
serta budaya asli Betawi dengan kaum pendatang pun berlanjut. Pusat
pemerintahan Belanda dipindahkan dari wilayah utara Batavia ke wilayah baru di
sebelah selatan tepatnya di kawasan Medan Merdeka. Perumahan-perumahan mewah
pun dibangun di antaranya rumah Gubernur Jenderal Belanda yang sekarang menjadi
Istana Negara. Pelabuhan baru pun didirikan di Tanjung Priok, karena Sunda
Kelapa sudah tidak sanggup lagi menampung banyaknya kapal-kapal yang datang
berlabuh.
Pada awal
abad ke 20 Batavia berkembang menjadi sebuah kota besar dengan penduduk lebih
kurang 116.000 jiwa. Mei 1942 pada awal perang dunia ke-2, pasukan Jepang
mendarat di Pulau Jawa dan menduduki Batavia, dan nama Batavia diganti menjadi
Jakarta. Nama yang terus dipakai hingga sekarang ini.
Perkembangan
kota Jakarta sebagai kota metropolitan dan ibukota negara ini semakin pesat di
masa pemerintahan Orde Baru. Mayoritas penduduk asli Betawi yang menetap di
tengah kota mulai menjual tanahnya dab pindah ke pinggiran Jakarta seperti
Kebayoran, Condet dan Jagakarsa. Untuk melestarikan budaya Betawi dari
kepunahan, di tahun 1970-an pemerintah menetapkan Condet sebagai kawasan cagar
budaya Betawi.
Kuliner
Betawi yang Nyaris Punah
Perjalanan sejarah Betawi tentu saja mempengaruhi budaya dan pola kehidupan masyarakat Betawi. Salah satunya terlihat dari keragaman kulinernya. Pengaruh tradisi China misalnya tampak dari beberapa jenis makanan Betawi. Contohnya penggunaan bahan dasar tahu dan masakan berbahan ikan seperti ikan Cing Cuan. Yang terakhir ini adalah sajian dari ikan ekor kuning atau ikan pisang-pisang yang diberi bumbu tauco.
Perjalanan sejarah Betawi tentu saja mempengaruhi budaya dan pola kehidupan masyarakat Betawi. Salah satunya terlihat dari keragaman kulinernya. Pengaruh tradisi China misalnya tampak dari beberapa jenis makanan Betawi. Contohnya penggunaan bahan dasar tahu dan masakan berbahan ikan seperti ikan Cing Cuan. Yang terakhir ini adalah sajian dari ikan ekor kuning atau ikan pisang-pisang yang diberi bumbu tauco.
Selain
China, masakan Betawi juga dipengaruhi oleh budaya Arab dan Eropa. Jika Anda
menyantap Nasi Kebuli atau Gule itu adalah sajian khas Betawi yang kuat
dipengaruhi budaya Arab. Sementara sentuhan budaya Eropa, terasa pada sajian
khas Betawi seperti Semur Jengkol atau Lapis Legit. Semur (bisa juga Gabus
Pucung) dan Lapis Legit sangat dipengaruhi oleh Steak dan Cake dari Eropa.
Masyarakat
Betawi memiliki banyak makanan lezat. Sayang beberapa di antaranya kian punah.
Siapa tak suka dengan Soto Betawi yang gurih dan manis itu. Atau kudapan
bercita rasa khas seperti Kerak Telor. Selain dua sajian ini, Betawi masih
punya banyak makanan lezat lainnya. Hanya saja sekarang ini tak semua hidangan
khas Betawi dapat dijumpai dengan mudah di jakarta. beberapa di antaranya sudah
bisa dikatakan telah punah.
Ciri khas
hidangan betawi adalah citarasa gurih dan sedap. Masakan Betawi yang masih
bertahan dan bisa dinikmati masyarakat bisa dihitung dengan jari. Beberapa di
antaranya cukup populer yaitu Soto Betawi, Kerak Telor, Nasi Uduk dan Nasi
Ulam. Bahkan tak sedikit orang yang bukan asli Betawi menjual sajian asli khas
Betawi ini.
Contoh
masakan langka namun paling khas dan unik yang dimiliki masyarakat Betawi
adalah Ketupat Babanci. Sesuai dengan namanya, Ketupat Babanci adalah masakan
dengan unsur utama ketupat yang disantap dengan kuah santan berisi daging sapi
dan diberi aneka bumbu seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai dan
rempah-rempah. Salah satu rempah-rempah yang sudah tak dapat lagi dijumpai di
daerah Jakarta adalah buah Jali-jali. Kini tumbuhan buah Jali-jali hanya bisa
dijumpai budidaya tumbuhannya di negeri Belanda. Dulu ketika Jakarta masih
memiliki banyak semak belukar, tumbuhan Jali-jali tumbuh bebas di rerumputan
tanah lapang. Seiring dengan hilangnya lahan luas dan rerumputan liar, maka
hilang pula lah tumbuhan buah Jali-jali yang menjadi bahan dasar rempah bumbu
Ketupat Babanci.
Sajian
khas Betawi di hari-hari istimewa seperti Lebaran dan syukuran kini menjadi
menu tradisional yang dinanti. Sajian yang paling umum hadir di meja makan
masyarakat Betawi saat Lebaran adalah Ketupat Sayur, Sambal Godok dan Semur.
Orang Betawi zaman dahulu bila mengadakan syukuran, tahlilan, maulid dan
sejenisnya, selalu menyajikan Nasi Berkat. Dibungkus daun jati atau teratai,
Nasi Berkat dilengkapi dengan Semur, Pesmol Bandeng, Gulai Buncis,
Serundeng dan Perkedel. Tapi kini Nasi Berkat telah mulai dilupakan dan hilang
dari tradisi Betawi.
Orang
Betawi punya menu spesial untuk sarapan yakni Pindang Bandeng. Karena disantap
waktu sarapan, orang Betawi sengaja memasak bandeng saat sore hari. Begitu pagi
hari, Pindang Bandeng langsung dihangatkan dan dinikmati dengan sisa nasi
semalam. Menu sarapan lain adalah Nasi Ulam. Namun yang banyak dijajakan
sekarang ini dengan Semur Tahu dan Telur, bukanlah Nasi Ulam asli Betawi.
Karena, Nasi Ulam asli Betawi disajikan dengan bumbu sambal terasi dan bumbu
urap.
Selain
Pindang Bandeng, orang Betawi memiliki sajian berbahan ikan lainnya. Sebut saja
misalnya Pecak Lele, Gurame dan Ikan Emas. Ada pula sayur Gabus Pucung (kluwek,
kluak) dengan ikan gabus yang diolah dengan bumbu kluwak (black nut = kacang
hitam). Sayangnya jarang Betawi yang mengolah masakan ini, disamping sulitnya
ternak ikan gabus kanibal bila diternak (ikan gabus cenderung memangsa
anak-anaknya sendiri), namun begitu masih ada beberapa warung makanan khas
masakan Betawi yang menyajikan masakan ikan liar gabus ini. Sajian paling unik
dari ikan adalah Pepes Ikan Belanak. Dan seperti halnya Gabus Pucung, Pepes
Ikan Belanak juga sudah langka.
Bagi Anda
yang ingin merasakan wisata kuliner asli khas Betawi, cobalah mencarinya dengan
berkeliling Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi. Dan ternyata tidaklah perlu
jauh-jauh mencari masakan unik khas Betawi di wilayah sekitar Jakarta.
KAMUS
KULINER BETAWI
Nasi Uduk
Masakan Betawi yang paling populer ini masih mudah ditemui di hampir semua pelosok di lima wilayah Jakarta. terbuat dari beras putih yang dimasak dengan santan kelapa, serta dibumbui garam, daun serai, daun salam dan daun jeruk. Rasanya sangat gurih dan nikmat, terutama bila disantap saat masih hangat mengepul. Biasanya nasi uduk ditemani lauk pauk seperti ayam goreng, tahu goreng, telur dadar yang diiris-iris, abon dan tempe kering yang dipotong-potong tipis dimasak manis. Nasi Uduk juga disajikan dengan bawang goreng, emping goreng (beberapa tempat diganti dengan kerupuk kecil warna-warni), timun dan tentunya sambel kacang.
Masakan Betawi yang paling populer ini masih mudah ditemui di hampir semua pelosok di lima wilayah Jakarta. terbuat dari beras putih yang dimasak dengan santan kelapa, serta dibumbui garam, daun serai, daun salam dan daun jeruk. Rasanya sangat gurih dan nikmat, terutama bila disantap saat masih hangat mengepul. Biasanya nasi uduk ditemani lauk pauk seperti ayam goreng, tahu goreng, telur dadar yang diiris-iris, abon dan tempe kering yang dipotong-potong tipis dimasak manis. Nasi Uduk juga disajikan dengan bawang goreng, emping goreng (beberapa tempat diganti dengan kerupuk kecil warna-warni), timun dan tentunya sambel kacang.
Nasi Ulam
Bedanya dengan Nasi Uduk, Nasi Ulam dibuat dari nasi biasa, tidak dimasak dengan santan. Ciri khasnya adanya taburan serundeng kelapa di atas nasi putih. Kemudian juga tambahannya seperti tempe goreng, tempe goreng tepung, dadar telur, sedikit taoge, ketimun iris dan daun semanggi. Tidak lupa juga kerupuk, emping serta bawang goreng. Nasi Ulam adalah bukti hadirnya pengaruh dari berbagai budaya kuliner yang pernah singgah ke Jakarta.
Bedanya dengan Nasi Uduk, Nasi Ulam dibuat dari nasi biasa, tidak dimasak dengan santan. Ciri khasnya adanya taburan serundeng kelapa di atas nasi putih. Kemudian juga tambahannya seperti tempe goreng, tempe goreng tepung, dadar telur, sedikit taoge, ketimun iris dan daun semanggi. Tidak lupa juga kerupuk, emping serta bawang goreng. Nasi Ulam adalah bukti hadirnya pengaruh dari berbagai budaya kuliner yang pernah singgah ke Jakarta.
Dendeng
dan Bihun Goreng merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Perkedel merupakan
“sumbangan” Belanda. Semur mempunyai kemiripan dengan Calderada dari Portugis,
atau juga mirip dengan kebanyakan hidangan Belanda yang dimasak secara braising
(merebus). Tempe goreng dan rempeyek kacang adalah budaya Jawa. Nasi Ulam
selalu disajikan dalam acara hajatan di daaerah Kampung Melayu, Bali Mester
(sekarang Jatinegara) dan sekitarnya.
Pindang
Bandeng
Biasanya disantap dengan menu sarapan orang Betawi, seperti halnya Nasi Uduk. Kuah pada Pindang Bandeng hapir enyerupai Semur, tapi bedanya ada tambahan belimbing wuluh di dalamnya. Rasanya sangat lezat dan segar apalagi bila dimakan dengan nasi putih.
Biasanya disantap dengan menu sarapan orang Betawi, seperti halnya Nasi Uduk. Kuah pada Pindang Bandeng hapir enyerupai Semur, tapi bedanya ada tambahan belimbing wuluh di dalamnya. Rasanya sangat lezat dan segar apalagi bila dimakan dengan nasi putih.
Gurame
Pecak dan Gabus Pucung
Gurame Pecak adalah sajian ikan berkuah. Kuah pecak tampilannya mirip kuah bumbu rujak, berwarna kekuning-kuningan dengan santan pekat. Kuah santan itu dimasak dengan bumbu kuning, kemiri, kacang tanah, bawang merah dan bawang putih, kencur serta garam. Sedangkan Gabus Pucung yang juga hidangan ikan berkuah, memiliki kuah berwarna kehitaman karena bahan utamanya adalah pucung atau orang Jawa mengenalnya sebagai kluwak. Tampilan kuah pucung mirip dengan rawon dari Jawa Timur. Sedangkan bumbu-bumbunya adalah cabai, bawang merah, bawang putih, kencur, jahe dan kunyit.
Gurame Pecak adalah sajian ikan berkuah. Kuah pecak tampilannya mirip kuah bumbu rujak, berwarna kekuning-kuningan dengan santan pekat. Kuah santan itu dimasak dengan bumbu kuning, kemiri, kacang tanah, bawang merah dan bawang putih, kencur serta garam. Sedangkan Gabus Pucung yang juga hidangan ikan berkuah, memiliki kuah berwarna kehitaman karena bahan utamanya adalah pucung atau orang Jawa mengenalnya sebagai kluwak. Tampilan kuah pucung mirip dengan rawon dari Jawa Timur. Sedangkan bumbu-bumbunya adalah cabai, bawang merah, bawang putih, kencur, jahe dan kunyit.
Ketupat
Babanci dan Ketupat Sayur
Masakan khas Betawi ini sudah sangat langka dan sudah tidak ada lagi yang menjual. Seperti namanya maka unsur utama sajiannya adalah ketupat. Ketupat ini disantap dengan kuah santan berisi daging sapi dan diberi aneka bumbu rempah seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, dan buah jali-jali (tumbuhan ini sudah punah dari tanah Jakarta). Selain Ketupat Babanci, sajian ketupat lainnya yang dikenal oleh orang Betawi adalah Ketupat Sayur.
Masakan khas Betawi ini sudah sangat langka dan sudah tidak ada lagi yang menjual. Seperti namanya maka unsur utama sajiannya adalah ketupat. Ketupat ini disantap dengan kuah santan berisi daging sapi dan diberi aneka bumbu rempah seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, dan buah jali-jali (tumbuhan ini sudah punah dari tanah Jakarta). Selain Ketupat Babanci, sajian ketupat lainnya yang dikenal oleh orang Betawi adalah Ketupat Sayur.
Ketupat
sayur adalah ketupat yang disajikan dengan sayur labuh (atau pepaya muda yang diris
halus) dengan santan yang dimasak dengan bumbu kemiri, kunyit, bawang merah,
bawang putih serta potongan ebi (udang kering) dan biasanya dihiasi dengan
sambel goreng. Biasanya juga dinikmati dengan potongan ayam sayur dan juga
ditambahi dengan kerupuk kecil warna-warni atau emping.
Soto
Tangkar, Sop Buntut dan Sop Kaki Sapi
Soto Tangkar adalah soto berkuah santan yang berisi tangkar (potongan daging tulang iga), sedangkan Sop Buntut adalah masakan sop dari tulang buntut sapi dan Sop Kaki Sapi juga masakan sop dari tulang kaki sapi. Sejarah lahirnya soto dan sop ini berawal pada saat penjajahan Belanda. Pada masa itu, masyarakat Betawi hanya mampu membeli tangkar, buntut dan kaki sapi yang hanya berdaging sedikit untuk kemudian diolah menjadi sajian yang enak. Tapi sekarang Soto Tangkar dapat ditambahkan dengan daging dan beragam jeroan sapi sesuai selera. Walaupun kuahnya menggunakan santan, Soto Tangkar tidaklah termasuk kategori “berat”. Lain halnya Sop Buntut dan Sop Kaki Sapi yang dimasak tanpa santan sehingga lebih bening namun lebih berkaldu sapi. Ketiga sajian ini sangat dipengaruhi dengan budaya Belanda.
Soto Tangkar adalah soto berkuah santan yang berisi tangkar (potongan daging tulang iga), sedangkan Sop Buntut adalah masakan sop dari tulang buntut sapi dan Sop Kaki Sapi juga masakan sop dari tulang kaki sapi. Sejarah lahirnya soto dan sop ini berawal pada saat penjajahan Belanda. Pada masa itu, masyarakat Betawi hanya mampu membeli tangkar, buntut dan kaki sapi yang hanya berdaging sedikit untuk kemudian diolah menjadi sajian yang enak. Tapi sekarang Soto Tangkar dapat ditambahkan dengan daging dan beragam jeroan sapi sesuai selera. Walaupun kuahnya menggunakan santan, Soto Tangkar tidaklah termasuk kategori “berat”. Lain halnya Sop Buntut dan Sop Kaki Sapi yang dimasak tanpa santan sehingga lebih bening namun lebih berkaldu sapi. Ketiga sajian ini sangat dipengaruhi dengan budaya Belanda.
Soto
Betawi
Soto Betawi juga diisi dengan jeroan, bahkan organ-organ lain seperti mata sapi, torpedo termasuk hati. Seperti halnya Soto Tangkar kuahnya adalah santan, namun banyak juga penjual Soto Betawi yang menggunakan susu sebagai kuah kentalnya.
Soto Betawi juga diisi dengan jeroan, bahkan organ-organ lain seperti mata sapi, torpedo termasuk hati. Seperti halnya Soto Tangkar kuahnya adalah santan, namun banyak juga penjual Soto Betawi yang menggunakan susu sebagai kuah kentalnya.
Diawali
oleh orang Sunda (mayoritas),
sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian
Pakuan Pajajaran.
Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir
utara Jawa,
dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di
semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Selain
itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di
Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini
lahir musik keroncong.
Setelah VOC menjadikan
Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja
untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika
itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih
berlangsung praktik perbudakan.[2] Itulah
penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi
kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru
Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh
suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang
banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta
juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke
Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung
Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian
utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang
dimulai pada tahun 1690.
Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah
Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan,
etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815–1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk
dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa,
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orangSumbawa,
orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini
dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander)
di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Tokoh
Betawi
Benyamin
Sueb, seniman Betawi legendaris.
- Alika – penyanyi, anggota girlband Princess
- Alya Rohali – artis, mantan Putri Indonesia
- Benyamin Sueb – artis
- Bokir – seniman lenong
- Deddy Mizwar – aktor, sutradara, tokoh perfilman
- Fauzi Bowo – Gubernur DKI Jakarta (2007 – 2012)
- Firman Muntaco – sastrawan
- Hassan Wirajuda – mantan menteri luar negeri
- Ismail Marzuki – pahlawan nasional, seniman
- Mandra – artis
- Mastur – artis
- Mat Solar – artis
- Muhammad Husni Thamrin – pahlawan nasional
- Nasir – seniman lenong
- Nawi Ismail – sutradara, tokoh perfilman
- Noer Alie – pahlawan nasional, ulama
- Omaswati – artis
- Ridwan Saidi – budayawan, politisi
- SM Ardan – sastrawan
- Surya Saputra – aktor, penyanyi
- Suryadharma Ali – Menteri Agama
- Tuty Alawiyah – mubalighat, tokoh pendidik, mantan menteri
- Ussy Sulistyowati – artis
- Zainuddin MZ – ulama
Pada
dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu
versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut
memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung
sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai
seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda. Cerita Si Pitung ini
dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi bagian
lengenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya. Kisah
Legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada),
sair, atau cerita Lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikan
dengan tokoh Betawi yang membumi, muslim yang shaleh, dan menjadi contoh suatu
keadilan sosial.
Kampung
setu babakan
|
Gapura itu
tak ubahnya seperti gapura lainnya. Wuwungan atapnya seperti berbentuk
piramida. Tingginya sekitar lima meter. Pada bagian depan pagar tertulis
”Pintu Masuk-1 Bang Pitung”.
Itulah
pintu utama perkampungan budaya Betawi Setu Babakan. Berlokasi di
kelurahan Serengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasi ini
mudah dijangkau dengan kendaraan umum dari ibukota.
Kawasan
perkampungan yang luasnya sekitar 289 hektar itu berada di dua buah setu
(telaga) alam yakni Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Tidak hanya sebatas
setu yang enak dipandang, setu ini menjadi hiburan bagi pengunjung untuk
memancing, olahraga kano dan sepeda air. Kedua Setu itu dikelilingi rindangnya pepohonan
buah yang menjadi ciri khas Betawi seperti kecapi, belimbing, rambutan, sawo,
melinjo, pepaya, pisang, jambu dan nangka. Pohon-pohon itu juga
mengelilingi perumahan warga sekitar.
Disana
juga bisa ditemukan rumah-rumah memiliki teras yang luas, berlantai satu,
yang rata-rata dibangun dengan kayu. Dalam rumah terdiri dari ruang tengah,
keluarga dan kamar-kamar. Teras luas menjadi khas rumah Betawi yang
biasanya digunakan untuk menerima tamu dan tempat berkumpul.
Saat
wartawan mengunjungi lokasi ini Minggu (30/11) siang, terlihat aktivitas
khas keseharian warga di Setu Babakan. Nampak sekelompok pemuda berbaju
hitam putih, memakai kopiah dan bersabuk hijau membuat lingkaran. Mereka sedang
berlatih jurus silat Betawi H. Beksi.
Tidak jauh
dari tempat itu, tepatnya di panggung utama, seorang pria setengah baya,
dengan mengenakan baju koko khas, memperkenalkan dirinya. “Sebut saja saya Bang
Nasrun,” ujarnya di panggung. Ia mulai memberikan pendahuluan tentang acara
pada Minggu itu yang bertepatan dengan hari Budaya Betawi di akhir bulan.
|
Gambang
Kromong Karisama Jaya binaan Bang Boin tampil ke pentas. Penonton pun bergegas
berdatangan melihat penampilan grup tersebut melantunkan lagu-lagu khas lokal
yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau
sindiran.
Alat musik
yang dimainkan itu terdiri dari alat musik gesek tradisional Tiongkok seperti
sukong, tehyan dan kongahyan yang sudah menjadi bagian dari gambang
kromong. Tehyan merupakan alat musik yang dimainkan tanpa dengan tanda
nada, sepintas nampak seperti biola. “Khusus memainkan tehyan harus pakai
perasaan, baru bisa bunyi,” ujar Bang Amat seusai pentas sembari memeragakan
memetik tehyan.
Gambang
kromong merupakan orkes musik tradisonal Betawi hasil asimilasi kebudayaan
Tiongkok dengan Indonesia, memadukan alat musik gamelan dengan alat musik gesek
khas Tiongkok, namun belakangan ini, alat musik modern Barat pun turut
memperkaya keragaman musik ini. Menurut sejarah, awal mula terbentuknya orkes
gambang kromong ini sebenarnya tak lepas dari seorang pemimpin komunitas
Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Tionghoa) bernama Nie Hoe Kong (masa
jabatan 1736-1740). Sehingga dalam lagu-lagunya pada masa itu banyak juga yang
bercorak Tionghoa.
“Memang
gambang kromong campuran tradisional Tiongkok dan pribumi,” ujar Bang Sasmita,
perwakilan pengurus gambang kromong Karisma Jaya yang juga merangkap sebagai
penyanyi.
|
Kepada
wartawan ia menuturkan bagaimana sulitnya mengembangkan kesenian gambang
kromong ditengah persaingan dengan musik modern. Namun demikian, ia optimis
gambang kromong akan menjadi pilihan masyarakat untuk kembali musik
tradisional. “Saya yakin masyarakat akan sampai ke titik jenuh dan kembali ke
musik tradisional,” paparnya optimis.
Perkampungan
Setu Babakan sama seperti kawasan biasa lainnya, penghuninya beraktivitas
seperti biasanya, diantara mereka pagi bekerja dan pulang sore hari.
Namun kampung itu didirikan khusus untuk melestarikan keragaman budaya Betawi,
jelas Wani, Staf Pengelola di Depan Kantor Pengelola Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan.
Perlu
diapresiasi atas itikad baik dari Pemda DKI yang membangun perkampungan budaya
Betawi dengan maksud melestarikan budaya asli daerah ini dalam bentuk wisata
budaya, wisata air dan wisata agro. Tentunya obyek yang ingin dikunjungi oleh
wisatawan adalah sesuatu yang memiliki potensi dan daya tarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar