Makam Syekh Mansyur
Makam
Syekh Mansyur terletak di Kampung Cikadueun, Desa Cikadueun, Kecamatan Cimanuk.
Menurut kisah yang berkembang di masyarakat, Syekh Mansyur berkaitan dengan
riwayat Sultan Haji atau Sultan Abu al Nasri Abdul al Qahar, Sultan Banten ke
tujuh yang merupakan putera Sultan Ageng Tirtayasa. Masa Pemerintahan Sultan
Haji yang kooperatif dengan Belanda ini dipenuhi dengan pemberontakan dan
kekacauan di segala bidang, bahkan sebagian masyarakat tidak mengakuinya
sebagai sultan.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Sultan
Haji yang asli kembali ke Banten dan mendapati kenyataan Banten sedang dalam
keadaan penuh huru-hara. Untuk menghindari keadaan yang lebih buruk lagi,
Sultan Haji pergi ke Cimanuk, tepatnya ke daerah Cikadueun, Pandeglang. Di
Cikadueun ia menyebarkan agama Islam hingga wafat disana. Ia dikenal dengan
nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun. Namun cerita seperti ini dari
sisi sejarah sangat lemah, dan hanya dianggap cerita rakyat atau legenda yang
mengandung nilai dan makna filosofis.
Sumber lain mengatakan, Syekh Mansyur Cikadueun
adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syekh
Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang
Diponegoro pada tahun 1825 - 1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh
Belanda, Syekh Mansyur dikejar oleh belanda dan akhirnya menetap di Kampung
Cikadueun, Syekh Nawawi kembali lagi ke Mekkah.
Kepurbakalaan yang terdapat di komplek makam
Syekh Mansyur Cikadueun ini hanyalah batu nisan pada makam Syekh Mansyur yang
tipologinya menyerupai batu nisan tipe Aceh. Nisan ini memiliki bentuk dasar
pipih, bagian kepala memiliki dua undakan, makin ke atas makin mengecil. Pada
bagian atas badan nisan terdapat tonjolan berbentuk tanduk. Hiasan berupa sulur
daun dan tanaman terdapat hampir di seluruh badan nisan tanpa ragam hias
kaligrafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar