Kamis, 03 Desember 2015

KH. MUHAMMAD DIMYATI (BUYA DIMYATI CIDAHU) Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin Sulthan Banten pertama. Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing, pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb. Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru. Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan mereka rahimahumullah. Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di watu congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu kamu ketahui di sini gak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan gak boleh punya teman. Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya. Di pondok Bendo pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam. Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak. Di antara murid-murid beliau adalah Ki Mufassir Padarincang, Abah ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.. Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya. Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu penulis belum pernah bersilaturahmi kepada Buya. baru ketika penulis nyantri di Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik seperguruan Buya ketika di Kadupesing, penulis sering berziarah kepada beliau. Penulis mengikuti marhaban bersama beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian malam selasa bersama beliau. Waktu itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman. Alhamdulillah penulis begitu beruntung ketika santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis tak menghiraukan pelajaran karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah Buya. yang begitu khusyu membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika mata indah itu memandangi penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma zid syarafah. Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak lama isteri penulis hamil. Kebetulan isteri penulis sedang berobat jalan ke dokter karena sebuah penyakit. Menurut dokter obat yang harus diminum ini harus rutin diminum sampai beberapa bulan. Dan obat ini bertentangan dengan kehamilan. Artinya bila terus meminum obat ini, kehamilan harus ditunda, kalau tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu itu dokter memberitahu penulis tanpa diketahui oleh isteri. Penulis bingung. Umur kandungan sudah dua bulan lebih, alangkah berdosanya dan yang paling mengganjal adalah, penulis adalah seorang santri yang diajarkan nilai-nilai kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh para kiayi. Masa iya penulis tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan dari sang dokter. Akhirnya penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya. Malam jum’at itu penulis berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap sampai di pesantren Buya sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan beliau. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan Buya. setelah marhaban, sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari majlis Buya. dipintu majlis telah menunggu pembagi kue selimpo. Setiap habis marhaban santri dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu waktu subuh di kamar santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis di pesantren Sampang mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar tingkat yang sempit yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan. Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke majlis buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya. sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a. Penulis muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti Buya tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam hati penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk ke majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini. Derigen air sudah penulis kendurkan agar bila Buya selesai wirid, penulis langsung memohon didoakan. Do’a untuk isteri dan kandungannya. Buya berdehem masih menghadap kiblat. Kepalanya yang dibalut serban sepertinya agak menengok ke samping sedikit, agaknya buya ingin tahu siapa orang yang menunggunya ini. Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis. Kemudian beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau sudah ada teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi bermaksud menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya Buya bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu? Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti bahasa sunda itu, yang artinya : dari mana ini? Penulis langsung berkata sambil mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat lain yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri dan kandungannya pun tak sanggup penulis ungkapkan. Haibah dan wiqar beliau begitu agung dan dahsyat. Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya ke derigen air itu, beliau meludahinya. Kemudian penulis pamit bermaksud mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau menariknya, seakan tak mau salaman lagi. Penulis agak maras, dalam hati penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis keluar dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika penulis sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung. Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu, penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat senyum bibir buya mengembang. Alhamdulillah, allahumma zid syarafah. Air yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis lahir dengan normal dan selamat serta penyakit isteri penulis itupun sembuh. Semua itu atas idzin Allah Swt. Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu. Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga kitab ashlul qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari, dan alhadiyyat aljalaliyah tentang tareqat syadziliya




KH. MUHAMMAD DIMYATI
(BUYA DIMYATI CIDAHU)



Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBev6rpxsq5sM8P2rdUKEWN9WnQPEzremt6b3jyDLvbHPQSeqadHSIKfVr2Q5bKw_htuANkRx8Lkfk8BNW0SMPfFb40UNGgosbuyz-3KdqTFLU4zRLhp2IPHlObzVLpvtvqorgbZCtcLox/s1600/KH.+DIMYATI.jpeg


        Beliau bernama lengkap Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin. Ibunya bernama Hj. Ruqayyah. Lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui  Maulana Hasanuddin Sulthan Banten pertama.
          Sejak kecil mendapat bimbingan sang ayah dalam mempelajari ajaran Islam. Kemudian Ia berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan islam ke berbagai pesantren di tanah jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, kadu Pesing,  pandeglang, Pelamunan, Plered cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dsb.
          Guru-guru beliau di antaranya adalah Abuya Abdulhalim Kadupesing, Buya Muqri abdul hamid, Mama Ahmad Bakri Sempur, Mbah Dalhar Watucongol,  Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baedlowi lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu. Kebanyakan guru-guru tersebut wafat tak lama setelah abuya berguru. Mungkin ini menunjukan bahwa Abuya mewarisi seluruh keilmuan dan keberkahan mereka rahimahumullah.
          Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di watu congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar  selama 40 hari abuya tak pernah di Tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu  kamu ketahui di sini gak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang aja syarahi kitab kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji aja disini mbah. Kalau begitu kamu harus Bantu ngajar dan gak boleh punya teman.

Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau  menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.

 Di pondok Bendo pare abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.

          Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah Sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah  Ki Mufassir Padarincang, Abah ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh majlis ta’lim nurul musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.. 
          Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majlisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
          Penulis adalah salah seorang yang beruntung itu. Walau penulis tidak nyantri kepada Buya. Penulis tahun 1994 nyantri di Mama Sanja Kadukaweng. Selama itu penulis belum pernah bersilaturahmi kepada Buya. baru ketika penulis nyantri di Abah Hasuri, di Kaloran Serang, adik seperguruan Buya ketika di Kadupesing, penulis sering berziarah kepada beliau. Penulis mengikuti marhaban bersama beliau di malam jum’at. Mengikuti pengajian malam selasa bersama beliau. Waktu itu di antara kitab yang dibaca adalah uqudul juman.  Alhamdulillah penulis begitu beruntung ketika santri yang lain sibuk mencoret kitab, penulis tak menghiraukan pelajaran karena sibuk memandang sebuah keagungan dari wajah Buya. yang begitu khusyu membaca dan menerangkan kitab, dan pada suatu ketika mata indah itu memandangi penulis dengan mesra dan cinta. Allahuma zid syarafah.
          Pada tahun 1999, penulis menikah. Tak lama isteri penulis hamil. Kebetulan isteri penulis sedang berobat jalan ke dokter karena sebuah penyakit. Menurut dokter obat yang harus diminum ini harus rutin diminum sampai beberapa bulan. Dan obat ini bertentangan dengan kehamilan. Artinya bila terus meminum obat ini, kehamilan harus ditunda, kalau tidak anak anda akan menjadi cacat. Waktu itu dokter memberitahu penulis tanpa diketahui oleh isteri. Penulis bingung. Umur kandungan sudah dua bulan lebih, alangkah berdosanya dan yang paling mengganjal adalah, penulis adalah seorang santri yang diajarkan nilai-nilai kepasrahan dan keyakinan kepada Tuhan oleh para kiayi. Masa iya penulis tinggalkan keyakinan kepada Tuhan dengan dugaan dari sang dokter. Akhirnya penulis memutuskan untuk meminta do’a kepada Buya. Malam jum’at itu penulis berangkat dari Serang menuju Cidahu. Penulis berharap sampai di pesantren Buya sebelum tengah malam agar dapat bermarhaban dengan beliau. Alhamdulillah akhirnya penulis dapat bermarhaban bersama santri dan Buya. setelah marhaban, sekitar jam tiga penulis keluar bersama santri dari majlis Buya. dipintu majlis telah menunggu  pembagi kue selimpo. Setiap habis marhaban santri dapat pembagian kue khas Banten itu. Penulis menunggu waktu subuh di kamar santri. Kebetulan cucu Yai Sanwani Sampang, guru penulis di pesantren Sampang mesantren di pesantren Buya. Kami menunggu subuh di kamar tingkat yang sempit yang hanya bisa untuk seorang. Kami berdesakan.
          Ketika tong-tong berbunyi dari majlis Buya, seluruh santri bergegas ke majlis buya untuk berjamaah solat subuh. Indah terasa solat di belakang Buya. sepertinya malaikat-malaikat ruhaniyyin hanya memperhatikan Kami. Khusyu dan syahdu. Ketika jamaah selesai seluruh santri keluar dari majlis. Penulis sendirian diam terpaku memandang Buya membaca wiridannya. Kaki kanannya kadang di angkat ke atas paha kirinya. Lama juga Buya membaca wirid dan berdo’a. Penulis muali ragu, apakah penulis salah waktu ingin bertemu Buya. apakah nanti Buya tidak marah penulis menunggu di belakangnya seperti ini. Ada niat dalam hati penulis untuk keluar dari majlis buya. namun tiba-tiba seekor kucing masuk ke majlis buya kemudian berdepa didekat penulis, seakan dia bermaksud menemani penulis berhadapan dengan Buya. penulis mengurungkan niyat untuk keluar dari majlis. Sekarang sudah ada teman. Rasa haibah dan takut masih melekat tapi tidak sedahsyat sebelum ada teman kucing baik ini.
          Derigen air sudah penulis kendurkan agar bila Buya selesai wirid, penulis langsung memohon didoakan. Do’a untuk isteri dan kandungannya. Buya berdehem masih menghadap kiblat. Kepalanya yang dibalut serban sepertinya agak menengok ke samping sedikit, agaknya buya ingin tahu siapa orang yang menunggunya  ini. Matanya melirik penulis dan kucing baik yang berdepa dekat penulis. Kemudian beliau meneruskan wiridnya. Kembali khusyu menghadap kiblat. Walau sudah ada teman kucing baik penulis mulai ragu lagi, apakah lirikannya tadi bermaksud menyuruh penulis keluar. Penulis bingung. Dalam kebingungan akhirnya Buya bangkit dari sajadah dan berbalik kemudian berkata : “ti mana iyeu? Walaupun penulis berbahasa jawa, penulis faham arti bahasa sunda itu, yang artinya : dari mana ini? Penulis langsung berkata  sambil mendekatinya dan menyodorkan derigen air : ti serang, Buya, abdi nyuhunkeun do’a, artinya dari Serang Buya saya memohon do’a. tak ada kalimat lain yang mampu penulis katakana kepada Buya. kalimat memohon do’a untuk isteri dan kandungannya pun  tak sanggup penulis ungkapkan. Haibah dan wiqar beliau begitu agung dan dahsyat.
          Setelah itu Buya mendekatkan mulutnya ke derigen air itu, beliau meludahinya. Kemudian penulis pamit bermaksud mencium tangan beliau untuk kedua kali. Beliau menariknya, seakan tak mau salaman lagi. Penulis agak maras, dalam hati penulis mungkin Buya marah karena wiridannya penulis ganggu. Penulis keluar dari majlis. Penulis kira Buya sudah ke dalam kamar kecilnya. Ketika penulis sampai pintu dan berbalik untuk mengenakan sandal, ternyata Buya masih memandangi penulis. Mata indah itupun beradu dengan mata penulis. Begitu agung. Ketika penulis hendak melangkah pergi, penulis melihat Buya mendekati pintu, penulis faham bahwa Buya akan menutup pintu majlisnya. Dengan segera penulis menutup pintu majlis itu, dan dari sela-sela pintu tertutup, penulis melihat senyum bibir buya mengembang. Alhamdulillah, allahumma zid syarafah.
          Air yang telah didoakan Buya itu langsung penulis bawa ke rumah. Isteri penulis langsung meminumnya. Penulis menganjurkan obat dari dokter itu gak usah diminum lagi. Dan alhamdulillah, anak penulis lahir dengan normal dan selamat serta penyakit isteri penulis itupun sembuh. Semua itu atas idzin Allah Swt. Dengan berkah wasilah do’a Buya Cidahu.
          Karangan Abuya Dimyati di antaranya minhajul ishtifa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan rajab 1379/1959. juga kitab ashlul qadr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr. Juga kitab bahjatul qolaaid, nadzam tijanuddarari, dan alhadiyyat  aljalaliyah tentang tareqat syadziliya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar