Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Siapakah
Nenek Moyang Bangsa Indonesia?
PERTANYAAN
tersebut dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu antropologi
budaya, ilmu paleoantropologi, dan ilmu genetika. Para ahli purbakala telah
menelusurinya dan meneliti endapan tanah purba 1,5 juta tahun yang lalu.
Endapan purba tersebut dikenal dengan nama plestosen bawah dan ditemukan
di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari fosil-fosil yang terdapat di
endapan purba tersebut para ahli dapat meneliti perikehidupan manusia purba.
Dari
peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama homo erectus. Makhluk
ini menunjukkan bahwa nusantara kita adalah daerah migrasi makhluk ini. Mereka
tersebar dari Afrika sampai ke nusantara kita. Homo erectus diperkirakan
lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang lalu. Wujud makhluk ini seperti monyet
besar.
Apakah
nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk homo erectus ini? Bukan!
Makhluk yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah. Tidak punya
keturunan lagi. Dan itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.
Nenek
moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama homo sapiens, yang lahir
ratusan ribu tahun silam. Fosil-fosil homo sapiens ditemukan di gua-gua purba,
zaman pra sejarah. Mereka hidup di gua-gua, pada era helosen. Jadi
makhluk homo erectus dan homo sapiens tidak punya hubungan “darah”. Homo
sapiens bukan keturunan homo erectus. Lebih tegas lagi – dari kajian
ilmu kepurbakalaan – dapat diketahui bahwa manusia bukan keturunan kera!
Tentunya termasuk manusia yang berdiam di nusantara ini. Demikian menurut
kajian ilmu, bukan dari kajian yang lain.
Dari Ilmu Linguistik
Dari
kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa
Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia
di nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia
memiliki penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan
oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Bahasa
Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal, dari Madagaskar, Afrika, di
barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia
Baru di selatan . Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran
bahasa Indo Eropa, Aria Barat, dan Aria Timur atau Semit.
Keturunan
Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan oleh 300
juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia,
beragam, misalnya mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan,
pengeliling dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia
penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan nusantara dan kepulauan Pasifik.
Jadi
siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa Austronesia
yang tinggal di nusantara itu? Masih menjadi kontroversi di kalangan para ahli.
Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formusa
(Taiwan), Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina, atau
Jepang.
Dari Bahasa Austrik
Ketua
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah
berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik.
Bahasa ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro
Asiatik dan Austronesia.
Austro
Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand, dan Munda
di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara
seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.
Menurut
teori Model Out of Taiwan, bahasa Austronesia mulai mengkristal
di Formusa atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China
Selatan 6.000 tahun yang lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau
Guangdong, dua daerah di China Selatan.
Proses
kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya Da-pen-keng.
Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal.
Itu terjadi sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut
manusia sudah mengerti memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi
meski masih sederhana, menanam ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu, dan
membuat gerabah..
Ratusan
tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan
peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.
Sejumlah
kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke selatan,
lewat lautan, dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak
digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di
antara mereka ada yang bergerak kearah Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan
Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.
Kelompok
pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan
bahasa Proto Malayo Polynesia (PMP), yang merupakan cabang dari
induknya, Proto Austronesia.
Di
kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman
yang berasal dari biji-bijian, mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa,
sagu, sukun, dan pisang. Pada saat itu, perhubungan laut juga mulai meningkat.
Teknologi pelayaran mereka mulai canggih. Maka di antara mereka mulai ada yang
bermigrasi ke pulau-pulau di nusantara, misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan
ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.
Dalam
tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian, mereka ada yang bermigrasi ke Jawa,
Sumatra, dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa Tenggara,
Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini, budaya
tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman
umbi-umbian. Bumi dan alam di nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk
tanaman biji-bijian.
Menurut
pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto
Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang
lalu. Hal itu ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah..
KEMAMPUAN mereka mengarungi lautan jarak
jauh, mendorongnya untuk terus mencari daerah baru yang kemungkinan lebih baik,
atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah mengenal strategi lompat katak.
Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang lebih dekat.
Demikian seterusnya, sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.
Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan
barat nusantara sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku, berkembang dan menjadi
pusat bahasa-bahasa Proto Central Malayo Polynesi. Bahasa-bahasa Proto
Eastern Malayo Polynesia berkembang di daerah Kepala Burung, Papua
Barat dan bahasa-bahasa Proto Oceanic berkembang di Kepulauan
Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.
Bentuk
rumpun bahasa Austronesia ini tumbuh lebih menyerupai bentuk garu
ketimbang bentuk pohon. Mengapa? Karena semua proto-bahasa
dalam bentuk ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga ke Proto
Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari 84
persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris
Tanudirjo.
Sementara
itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa
yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck, boleh dikatakan
satu bahasa, namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek.
Austromelanesoid
– Mongoloid
Mungkin
Anda bertanya, nama makhluk apa lagi ini? Apakah ini nenek moyang kita?
Jawabnya bukan! Sabar.
Dari
hasil penemuan dan penelitian di pegunungan Sewu, bagian tengah Jawa
Tengah-Jawa Timur, para ahli menemukan kohabitasi, bercampurnya dua suku bangsa
di suatu wilayah, yaitu ras Australo-melanesid dengan ras Mongoloid
dalam waktu yang hampir bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum
datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.
(1) Dalam
situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka
Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga
ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.
(2)
Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak, dekat Tulungagung, Jawa Timur,
menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus menunjukkan
ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti
tersebut dapat disimpulkan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah
- percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongoloid yang mendiami bumi nusantara ini, gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad, kemudian bercampur dengan
- rumpun Asia dari India,
- bercampur lagi dengan rumpun Aria dari India, dan
- bercampur lagi dengan bangsa Semit dari Eropa, di masa-masa modern sesudahnya.Dari bukti-bukti arkeologis tersebut di atas maka orang akan sulit jika menetapkan mana sebenarnya yang disebut bangsa Indonesia yang asli. Apalagi sekarang! Zaman globalisasi. Kini dunia rasanya sudah menjadi satu. Kita sekarang sudah menjadi satu warga negara, warga negara dunia. Kemanusiaan yang adil dan beradab – seperti yang diamanatkan oleh Sila ke-dua Pancasila — seharusnya sudah menjadi way of life semua bangsa di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar